Blight menarik lenganku kasar. "Apa-apaan ini?" tuntutnya.
"Lepaskan aku!" aku menyentakkan lenganku darinya. "Kau pikir aku juga menginginkan ini?"
Matanya melirik Wiress dan Beetee cepat. "Mereka hanya akan jadi beban."
Aku memutar bola mata. "Uh, yeah. Dan kau pikir aku tidak memikirkan itu? Katniss menginginkan mereka sebagai sekutu."
Blight menggemeretakkan rahangnya. "Baiklah," katanya, "tapi mereka tanggung jawabmu, bukan tanggung jawabku."
Saat aku mengangguk, tetes-tetes air mulai menghujani kami. Kudengar Wiress berteriak girang dan Blight membuka mulutnya, lega akhirnya mendapat sesuatu untuk diminum. Beetee bergumam di sampingku. "Ada yang salah."
"Apa?" tanyaku. "Hujan ini hangat, kalau itu yang kaumaksud."
Beetee menggeleng, dan saat itulah aku melihat darah turun mengaliri wajahnya. Aku terkesiap kaget saat kami semua menyadari apa yang salah. "Darah!" teriak Blight. "Hujan darah! Lari!"
Ia menarik Wiress yang bingung, aku dan Beetee mengikuti di belakangnya. Tiba-tiba Beetee berteriak, "Awas!"
Lalu Blight menabrak medan gaya. Begitu keras, tubuhnya mengeluarkan bau hangus. Wiress, yang berhenti tepat pada waktunya, menjerit di samping tubuh Blight yang terbujur kaku, tungkainya terlipat tak wajar di bawah tubuhnya yang menghitam dan menguarkan bau memualkan. Hujan darah semakin deras, membutakan kami. Aku berkali-kali mengusap mata dan hidungku. Kami kehilangan arah, sampai akhirnya Wiress menunjuk di kejauhan. "Tik tok."
"Tik tok?" ulangku. "Apa maksudnya?"
Beetee menggeleng, tangannya menarik tanganku. "Kita ikuti saja, dan berharap keluar dari sini secepat mungkin."
Wiress memimpin kami, tersandung-sandung di bawah guyuran hujan darah yang lebat; begitu lebatnya hingga tubuhku terasa dua kali lebih berat hanya dengan terkena tetesannya saja. Ketika kami akhirnya melihat bayangan Cornucopia, Wiress masih terus meracau, "Tik tok."
Kami keluar dari hutan tepat waktu. Hujan darah itu berhenti di belakang kami, terhalang medan gaya tak kasat mata. Beetee langsung berlari ke pantai, membasuh tubuhnya yang penuh darah. Wiress berputar-putar, meracau, "Tik tok. Tik tok."
Aku mengomel, entah kepada siapa, saat akhirnya - akhirnya - aku mendengar suara familier yang kupercaya. "Johanna!"
Aku menoleh pada asal suara. "Finnick!"
Kau tahu bagaimana kelanjutan kisahnya.
No comments:
Post a Comment